Jejak yang Terhapus: Menelusuri Sejarah Indonesia versi Kementerian Kebudayaan
Dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia, narasi sejarah kerap tampil sebagai kebenaran tunggal yang tak boleh digugat. Namun belakangan, narasi tersebut kembali dipertanyakan.
Ketika Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencanangkan
proyek penulisan ulang sejarah nasional, riak polemik kembali mengemuka. Apa
yang sebenarnya terjadi di balik lembaran sejarah resmi Indonesia?
Akar Historis Kementerian Kebudayaan: Dari
Arsip ke Identitas Bangsa
Sejarah Kementerian Kebudayaan tak bisa dilepaskan dari dinamika politik kebangsaan. Berakar dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada awal kemerdekaan, lembaga ini dirancang sebagai garda depan pembangunan karakter bangsa.
Soekarno menugaskan sejarawan dan budayawan untuk
merekam, mengarsipkan, serta membentuk ingatan nasional yang bersumber dari
akar kebudayaan lokal.
Namun, lembaga ini tidak pernah statis. Di masa Orde Baru, arah kebijakan bergeser. Pendidikan sejarah difungsikan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Ketika Kemendikbudristek kembali mengumumkan proyek sejarah baru pada 2021, tak sedikit yang khawatir kita sedang mengulang pola yang sama.
Sejarah Resmi: Monumen Narasi Negara
Narasi Tunggal dan Pengarsipan Memori
Sejak 1970-an, negara mulai memproduksi Sejarah Nasional Indonesia, sebuah karya besar yang disusun oleh Nugroho Notosusanto.
Buku ini, yang menjadi bahan ajar wajib, menyajikan narasi
linier tentang perjuangan bangsa dengan tentara sebagai pahlawan utama, dan
peristiwa 1965 sebagai tragedi yang disederhanakan dalam hitam-putih moralitas.
Proyek ini menjadi instrumen kuat dalam membentuk identitas nasional. Namun, pada saat yang sama, ia juga menyingkirkan sejarah alternatif, ingatan korban, narasi lokal, dan perspektif minoritas.
Inilah kritik utama yang muncul dari kalangan akademisi, sejarah yang dibakukan
negara seringkali menutup ruang untuk dialog dan refleksi kritis.
Ketika proyek revisi sejarah nasional kembali digagas, para sejarawan independen menyuarakan kekhawatiran. Mereka menuntut agar sejarah tak lagi menjadi proyek politik identitas. Sejarah harus dilandasi pendekatan ilmiah, bukan ideologis.
Bagi banyak mahasiswa dan pelajar hari ini,
penting untuk memahami bahwa sejarah yang mereka pelajari di bangku sekolah
adalah hasil konstruksi. Ini bukan berarti tidak sah, tetapi perlu ditantang
dan dilengkapi. Sejarah adalah ruang diskusi, bukan doktrin.
Sejarah sebagai Medan Kuasa: Politik di Balik
Lembar Buku
Reaksi keras dari Komisi X DPR terhadap proyek
penulisan ulang sejarah nasional menunjukkan betapa sensitifnya isu ini.
Beberapa anggota menyebutnya sebagai pembelokan sejarah. Namun, kritik ini
justru membuka pertanyaan baru, bukankah sejarah memang selalu rentan terhadap
tarik-menarik kuasa?
Kementerian Kebudayaan, dalam berbagai
bentuknya, tak jarang menjadi alat politik. Program museum, kurikulum sejarah,
hingga film dokumenter sering dipolitisasi. Maka, mendemokratisasi sejarah
berarti juga mendemokratisasi lembaga yang mengelolanya.
Catatan untuk pembaca
muda (pelajar dan mahasiswa): Mampu membaca sejarah secara kritis bukan hanya
tugas akademik, tapi juga wujud dari partisipasi sebagai warga negara yang
melek sejarah.
Menuju Sejarah Publik yang Demokratis
Sudah saatnya sejarah Indonesia tidak hanya
ditulis dari ruang birokrasi, tetapi juga dari desa-desa, komunitas adat, dan
ruang-ruang alternatif. Kemendikbudristek, atau lembaga apapun penggantinya di
masa depan, perlu menjadi fasilitator bukan pemilik tunggal narasi.
Sejarah publik yang demokratis mengakui bahwa masa lalu bangsa kita berlapis-lapis. Ada luka yang belum pulih, ada kisah yang belum terangkat, dan ada aktor-aktor yang masih dibungkam oleh narasi resmi.
Melibatkan masyarakat sipil, komunitas sejarah, dan generasi muda dalam proyek sejarah nasional adalah langkah strategis untuk merawat ingatan kolektif.
Pelajar, mahasiswa, dan WNI pada umumnya tidak cukup hanya “menerima” sejarah, tetapi harus turut serta dalam menulis dan mengkritisinya.
Sejarah Indonesia bukan milik pemerintah, tapi milik kita
bersama. Dan justru karena itu, kita harus terus menanyakannya,
merekonstruksinya, dan menjadikannya lebih manusiawi.
Sebab sejarah bukan hanya soal masa lalu ia
adalah cermin masa kini dan kompas untuk masa depan.