Serangan Israel ke Gaza Tewaskan Bayi, Dunia Internasional Bereaksi
Gaza kembali diguncang. Serangan udara Israel pada Kamis malam (21/5/2025) menewaskan sedikitnya 47 warga sipil, termasuk bayi yang baru lahir.
Target serangan kali ini menyasar kawasan padat penduduk di Khan Younis dan Rafah, dua wilayah yang sejak awal konflik Palestina terus menjadi titik api kekerasan.
Korban terus bertambah. Otoritas kesehatan
Palestina mencatat bahwa 18 dari korban tewas adalah anak-anak. Rumah Sakit
Al-Najjar dilaporkan kewalahan. Obat-obatan langka. Tempat tidur penuh.
Sejumlah pasien dirawat di lantai, sebagian bahkan tanpa selimut.
Blokade Mencekik, Bantuan
Kemanusiaan Tersendat
Blokade di Jalur Gaza masih berlangsung ketat.
Meskipun sempat dibuka sebentar, perbatasan Rafah kembali ditutup dengan alasan
keamanan. Penutupan ini terjadi hanya beberapa jam setelah 90 truk bantuan dari
Mesir dan lembaga internasional, termasuk bantuan kemanusiaan PBB, berhasil
masuk ke wilayah Gaza.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut
kondisi ini sebagai “krisis medis akut.” Juru bicara WHO, Dr. Lina Souad,
mengatakan bahwa warga Gaza tak hanya terancam oleh bom, tetapi juga oleh
kelaparan, infeksi, dan kurangnya air bersih.
“Orang-orang mati bukan hanya karena kekerasan
di Jalur Gaza. Mereka juga mati karena kelaparan dan keputusasaan,” ujarnya
dalam konferensi pers PBB.
Blokade selama bertahun-tahun telah
melumpuhkan ekonomi lokal. Gaza kini tak ubahnya penjara terbuka di mana keluar
masuknya bantuan kemanusiaan ditentukan oleh pertimbangan politik dan militer,
bukan kemanusiaan.
Gelombang Kecaman Global Kian Deras
Reaksi internasional semakin keras. Presiden Brasil menyebut serangan ke Gaza sebagai “aksi tak berperikemanusiaan yang mencoreng nilai global.” Sementara itu, ribuan warga di kota-kota besar seperti London, Paris, Istanbul, dan Jakarta turun ke jalan. Mereka membawa poster-poster berisi seruan gencatan senjata dan solidaritas untuk Palestina.
Di New York, Dewan Keamanan PBB kembali menggelar sidang darurat. Meski belum menghasilkan resolusi konkret, sejumlah negara menuntut investigasi independen terhadap serangan yang menewaskan warga sipil, terutama anak-anak dan bayi.
Uni Eropa menyatakan keprihatinan mendalam dan menyerukan pembukaan jalur aman bagi distribusi bantuan kemanusiaan. Di dalam negeri Israel sendiri, suara-suara kritis mulai terdengar, meski dibungkam oleh narasi keamanan nasional.
Retorika Militer vs Fakta Lapangan
Militer Israel mengklaim serangan mereka “menargetkan titik strategis milik Hamas.” Namun, laporan dari jurnalis lapangan dan organisasi kemanusiaan justru menunjukkan bahwa mayoritas korban adalah warga sipil biasa.
Puing-puing rumah yang runtuh, jenazah anak-anak di selimut darurat, dan rumah sakit yang penuh sesak membantah narasi bahwa semua target adalah militer.
Sementara itu, Hamas menuduh Israel melanggar hukum internasional dan menuntut solidaritas lebih luas dari negara-negara Islam dan blok Non-Blok. Konflik Palestina ini kembali membuka luka lama dan menyulut gelombang solidaritas global.
Akankah Dunia Tetap Diam?
Konflik Palestina bukanlah kisah baru. Namun, setiap kali Gaza dibombardir, dunia dihadapkan pada pertanyaan moral yang sama: sampai kapan pembunuhan warga sipil akan terus dibiarkan?
Bayi yang bahkan belum sempat menangis kini menjadi simbol tragedi ini. Taman bermain berubah jadi puing. Rumah sakit jadi tempat duka. Sekolah hancur, masa depan terputus.