Visa Dibatasi, Mahasiswa Asing Harvard Terancam Dideportasi
Kebijakan imigrasi terbaru dari
pemerintah Amerika Serikat memicu kepanikan di kalangan mahasiswa asing,
termasuk di kampus prestisius Harvard University. Banyak dari mereka kini dihadapkan
pada pilihan yang berat: pindah kampus atau pulang ke negara asal. Bagi
sebagian besar, ini bukan sekadar soal akademik, tapi tentang nasib dan masa
depan.
Kebijakan
Baru Bikin Geger Mahasiswa Internasional
Pada awal pekan ini, pemerintah AS
mengumumkan pembatasan visa bagi mahasiswa internasional yang hanya mengikuti
perkuliahan daring (online). Mahasiswa asing yang tidak hadir secara fisik di
kelas dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk mempertahankan status visa mereka.
Langkah ini langsung memicu
gelombang kecemasan di antara mahasiswa internasional, termasuk dari kawasan Asia
Tenggara, Timur Tengah, hingga benua Afrika. Bahkan mahasiswa dari
negara-negara di kawasan Nusantara seperti Indonesia dan Malaysia, mulai
menghubungi pihak konsulat masing-masing.
Respons
Harvard dan Dunia Akademik
Pihak Universitas Harvard
tidak tinggal diam. Dalam pernyataan resmi, Presiden Harvard Dr. Elaine
Summers menyebut kebijakan tersebut sebagai langkah "tidak manusiawi
dan kontraproduktif".
Beberapa dosen dan staf pengajar
juga menyuarakan kekhawatiran. Mereka menilai kebijakan ini bisa merusak
keberagaman dan semangat kolaborasi internasional yang selama ini menjadi ciri
khas universitas top dunia.
Baca Juga : Pendidikan Karakter dan Krisis Moral di Sekolah: Apa Solusinya?
Mahasiswa di Persimpangan: Antara Bertahan atau Pulang
Mahasiswa yang terdampak kini mulai mempertimbangkan berbagai opsi, termasuk mencari kampus alternatif yang menawarkan perkuliahan tatap muka. Namun tenggat waktu yang singkat membuat sebagian besar merasa kebingungan.
Kampus juga mulai terlihat lebih sepi dari biasanya. Sejumlah ruang kuliah kosong karena mahasiswa memilih menunda kehadiran atau mengikuti kuliah dari jarak jauh, menunggu kejelasan.
Pemerintah AS: Ini Penegakan Aturan Pascapandemi
Gedung Putih, melalui juru bicara Caroline Jensen, menyebut langkah ini sebagai bagian dari “penegakan aturan visa yang masuk akal di masa pascapandemi”.
Namun, argumen ini ditanggapi sinis oleh berbagai kalangan. Banyak mahasiswa asing yang merasa kehilangan akses terhadap fasilitas riset, jaringan kerja, dan peluang akademik di AS.
Kementerian Pendidikan Negara Asal Ikut Menyikapi
Beberapa kementerian pendidikan dari negara asal mahasiswa terdampak mulai memberi perhatian serius terhadap perkembangan ini. Mereka berkoordinasi dengan konsulat dan kampus untuk memastikan perlindungan mahasiswa di luar negeri.
Khususnya di wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia melalui KBRI Washington DC disebut tengah mengumpulkan data jumlah mahasiswa asal Nusantara yang terdampak untuk menyiapkan dukungan hukum dan logistik jika dibutuhkan.
Harapan Masih Ada, Tapi Waktu Terbatas
Meski situasi penuh ketidakpastian, Harvard dan sejumlah kampus Ivy League lainnya sedang mengatur jadwal kuliah hybrid memadukan pertemuan daring dan tatap muka sebagai solusi sementara.
Namun, belum ada kepastian apakah kebijakan ini cukup untuk membuat mahasiswa tetap bertahan tanpa risiko kehilangan visa. Sementara itu, ribuan mahasiswa asing termasuk dari wilayah Nusantara masih terus bertanya-tanya: apakah harus tetap berjuang atau kembali ke tanah air?.