Batik Indonesia yang Terancam Punah: Mengapa Kita Harus Peduli?
Batik bukan sekadar kain
bercorak indah. Ia adalah warisan
budaya Indonesia yang telah hidup selama berabad-abad,
diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, di tengah arus modernisasi, eksistensi
batik tradisional kian terancam. Kini, berbagai faktor membuat banyak motif
batik tradisional perlahan menghilang dari peredaran.
Tradisi Membatik yang Kian
Tergerus
Setiap coretan canting pada
kain batik menyimpan makna filosofis yang mendalam. Mulai dari motif flora,
fauna, hingga simbol kehidupan manusia, semuanya mencerminkan kekayaan budaya
Nusantara. Sayangnya, banyak motif lawas kini nyaris punah. Motif seperti
Jlamprang dari Pekalongan dan Batik Batang yang kaya makna keagamaan sudah
jarang diproduksi.
Pergeseran selera pasar
menjadi salah satu penyebab utama. UMKM
batik kini menghadapi persaingan ketat dari produk batik
printing yang diproduksi massal dengan harga lebih murah. Di sisi lain, proses
pembuatan batik tulis yang memerlukan ketelatenan tinggi, membuat pengrajin
kesulitan memenuhi permintaan pasar yang serba instan.
Kami kesulitan mencari
generasi penerus. Banyak remaja lebih memilih bekerja di sektor lain daripada
menjadi pengrajin batik.
Tantangan Regenerasi di
Era Milenial
Generasi milenial dan remaja menjadi kunci penting
dalam menjaga keberlanjutan batik. Sayangnya, ketertarikan generasi muda
terhadap seni membatik masih minim. Mereka cenderung memilih pekerjaan yang
menawarkan pendapatan cepat dibanding menekuni proses panjang membatik.
Selain itu, keterbatasan
bahan baku alami seperti malam, kapas lokal, dan pewarna kayu juga menjadi
kendala tersendiri. Harga produksi batik tulis menjadi lebih mahal dibanding
batik cetak. Hal ini memukul banyak UMKM kecil yang akhirnya gulung tikar atau
beralih ke produksi printing.
Secara bisnis, batik
printing jauh lebih menguntungkan. Tapi nilai seni dan budayanya tak
tergantikan.
Baca Juga : Budaya sebagai Identitas Bangsa: Mengapa Kita Harus Peduli?
Dampak Pandemi dan Tekanan
Tren Global
Pandemi COVID-19 turut
mempercepat kemunduran industri batik. Penurunan wisata, pembatalan pameran
budaya, dan lesunya sektor ritel membuat banyak UMKM batik kehilangan pasar. Akibatnya,
banyak usaha mikro kecil terpaksa menghentikan produksi.
Tak hanya itu, gempuran
tren fashion global juga mempengaruhi selera pasar domestik. Remaja dan anak
muda kini lebih menggemari busana modern dari brand luar negeri ketimbang
mengenakan batik dalam kesehariannya.
Tren fashion sangat cepat
berubah. Anak-anak lebih memilih gaya casual brand global ketimbang mengenakan
batik.
Upaya Pelestarian yang
Terus Diupayakan
Meski menghadapi ancaman,
berbagai pihak terus berupaya melestarikan batik. Pemerintah daerah
menggencarkan pendidikan
membatik melalui kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah.
Dengan demikian, anak-anak mulai mengenal proses dan filosofi batik sejak dini.
Selain itu, komunitas
pengrajin mulai memanfaatkan platform digital untuk mempromosikan karya mereka.
Media sosial menjadi jembatan penting memperkenalkan batik kepada pasar yang
lebih luas, termasuk ke kalangan generasi
milenial.
“Pelestarian batik bukan
hanya tugas pengrajin, tapi semua pihak. Keluarga, sekolah, dan masyarakat
punya peran besar,” jelas Hadi Setiawan, Dosen Budaya Universitas Negeri
Semarang.
Batik: Lebih dari Sekadar
Kain
Sejak diakui UNESCO sebagai
warisan budaya Indonesia
pada 2009, batik mendapat pengakuan dunia sebagai identitas bangsa. Namun,
pengakuan ini bukan jaminan lestarinya batik jika kesadaran masyarakat rendah.
Kalau kita abai, bisa saja
anak cucu kita kelak hanya mengenal batik lewat buku sejarah..
Kini, menjaga kelestarian batik bukan hanya soal industri, melainkan wujud kecintaan pada jati diri bangsa. Batik adalah narasi panjang perjalanan budaya Indonesia. Sudah saatnya kita, termasuk masyarakat, ikut mengambil bagian dalam melestarikannya.