Fermentasi Laut: Cita Rasa Tajam dari Pesisir Asia Tenggara
Aroma menyengat yang menusuk, rasa gurih yang menempel lama di lidah, hingga sensasi asam yang unik—semuanya lahir dari satu teknik kuliner kuno: fermentasi. Di sepanjang pesisir Asia Tenggara, fermentasi laut bukan sekadar teknik pengawetan, tapi juga bentuk cinta pada alam, tradisi, dan rasa.
Dari pulau-pulau kecil di Indonesia
hingga daratan Thailand bagian timur laut, fermentasi menjadi bagian dari
identitas kuliner yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakatnya. Mari
selami lebih dalam.
Rusip
dari Bangka Belitung: Aroma Menantang, Rasa Menggoda
Di Bangka Belitung, rusip adalah
nama yang tak asing bagi lidah-lidah petualang. Terbuat dari ikan bilis (teri
kecil) yang difermentasi bersama garam dan gula merah, rusip menghasilkan saus
kental berwarna gelap dengan aroma tajam yang khas.
Biasanya disajikan sebagai cocolan
untuk lalapan mentah seperti timun atau daun singkong, rusip memiliki profil
rasa yang kompleks: asin, asam, sedikit manis, dan penuh kejutan di tiap gigitan.
Meski bagi sebagian orang baunya bisa membuat mundur, bagi masyarakat lokal
rusip adalah lauk istimewa—penuh protein, cita rasa, dan kenangan rumah.
Fermentasi
Rasa dari Aceh: Antara Tradisi dan Ketahanan
Berpindah ke ujung barat Indonesia,
Aceh punya dua andalan fermentasi yang mewakili ketangguhan dan keunikan
dapurnya: keumamah dan kuah pliek u.
Keumamah, atau ikan kayu, adalah
ikan laut yang dikeringkan dan difermentasi hingga teksturnya menyerupai kayu
keras. Namun begitu dimasak, ia menyerap bumbu dengan luar biasa dan
menghasilkan rasa dalam yang khas—gurih, pedas, dan kaya.
Sementara kuah pliek u adalah gulai
khas Aceh yang menggunakan kelapa tua fermentasi sebagai bahan dasarnya.
Hasilnya? Rasa gurih yang tidak bisa ditemukan di tempat lain—karena teknik dan
bahan dasarnya memang khas tanah Rencong.
Isan,
Thailand: Surga Fermentasi yang Funky dan Merakyat
Di wilayah Isan, timur laut
Thailand, fermentasi bukan cuma teknik dapur, tapi bagian dari gaya hidup
kuliner. Masyarakat Isan mencintai rasa tajam, aroma "funky", dan
sensasi asam yang kuat.
Sai krok Isan, misalnya, adalah sosis fermentasi dari campuran daging
babi dan nasi ketan. Dibiarkan beberapa hari hingga beraroma khas, lalu
digoreng dan disantap dengan cabai serta kol mentah. Hasilnya: pedas, renyah,
dan asam sekaligus.
Lalu ada som tam pla ra,
salad pepaya muda dengan saus ikan fermentasi, dan larb, daging cincang
berbumbu fermentasi yang dibalut daun mint dan beras sangrai. Tidak hanya jadi
makanan rumahan, versi premium makanan Isan ini kini tampil di restoran
Bangkok, bahkan meraih bintang Michelin dan Bib Gourmand.
Pekasam
dan Terasi: Fermentasi Nusantara yang Melekat di Dapur
Tak hanya di pesisir, fermentasi
laut juga hidup di daratan nusantara. Pekasam, misalnya, bisa ditemukan
di Sumatra, Kalimantan, hingga Jawa. Fermentasi ikan air tawar ini dibuat dari
campuran garam, gula aren, dan beras sangrai, lalu disimpan berhari-hari.
Hasilnya? Lembut, asam, gurih, dan sangat cocok digoreng atau ditumis.
Di sisi lain, terasi
barangkali adalah bumbu fermentasi paling legendaris di Indonesia. Terbuat dari
udang rebon atau ikan kecil yang difermentasi menjadi pasta pekat dan beraroma
kuat, terasi menjadi dasar rasa dari berbagai hidangan seperti sambal, sayur
lodeh, hingga nasi goreng.
Meski kadang "dihindari"
karena baunya, pekasam dan terasi justru adalah pilar rasa masakan Nusantara.
Lebih
dari Sekadar Rasa: Fermentasi sebagai Identitas dan Potensi Ekonomi
Fermentasi laut bukan sekadar soal
rasa yang unik atau aroma yang kuat. Di balik itu, ia menyimpan nilai yang
lebih dalam.
- Kesehatan dan Gizi
Proses fermentasi menciptakan probiotik alami, menjaga kandungan protein, dan memelihara enzim-enzim baik. Ia bukan hanya awetan, tapi juga suplemen alami. - Warisan Budaya
Fermentasi adalah cara cerdas masyarakat pesisir menjaga hasil laut tanpa listrik atau kulkas. Ia lahir dari keterbatasan, lalu diwariskan lintas generasi sebagai bagian dari identitas budaya. - Peluang Ekonomi
Kini, produk fermentasi mulai dikemas dengan baik, dipasarkan secara daring, dan bahkan diekspor. Fermentasi bukan lagi makanan pinggiran, tapi komoditas bernilai tinggi—dari terasi dalam botol kaca hingga sai krok dalam kemasan premium.
Tantangan
di Balik Potensi: Aroma, Persepsi, dan Regulasi
Namun jalan menuju pengakuan dunia
tidak semulus cita rasanya. Fermentasi laut masih menghadapi stigma sebagai
makanan "kotor", "bau", atau "tidak layak jual".
Diperlukan edukasi untuk memperbaiki
persepsi, juga peningkatan standar produksi, termasuk sertifikasi halal dan
keamanan pangan. Banyak UMKM masih belum familiar dengan prosedur tersebut,
sehingga butuh pendampingan untuk naik kelas.
Saatnya
Merayakan Fermentasi Laut sebagai Warisan Kuliner
Fermentasi laut adalah contoh
bagaimana tradisi bisa bertahan lewat rasa. Ia bukan hanya bagian dari dapur,
tapi juga bagian dari sejarah dan masa depan. Di balik aroma yang mungkin
menusuk, ada cerita panjang tentang adaptasi, kreativitas, dan cinta terhadap
alam.
Kini, tugas kita bukan hanya
mencicipinya, tapi juga menjaganya tetap hidup. Karena dari rusip di Bangka,
keumamah di Aceh, hingga sai krok di Thailand, fermentasi adalah bahasa rasa
yang menyatukan pesisir Asia Tenggara dalam satu identitas kuliner yang tajam
dan tak tergantikan.