Sertifikasi Halal buat Santapan Tradisional: Butuh Tidak?
Mulai 17 Oktober 2024, sertifikasi halal jadi kewajiban untuk pelaku usaha makanan dan minuman di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang pelaksanaannya kini memasuki tahap wajib. Artinya, seluruh produk makanan dan minuman yang beredar di Indonesia harus memiliki sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Namun, seiring penerapan aturan ini,
muncul pertanyaan: bagaimana dengan makanan tradisional? Apakah pempek,
gudeg, lemang, sampai tempoyak juga wajib punya sertifikat halal? Atau justru
produk-produk ini bisa dikecualikan?
Siapa
Saja yang Harus Sertifikasi?
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2021, kewajiban sertifikasi halal berlaku bagi seluruh pelaku
usaha makanan dan minuman, baik skala besar, menengah, maupun kecil. Produk
yang wajib disertifikasi meliputi:
- Makanan siap saji
- Makanan olahan dan kemasan
- Minuman botolan
- Produk berbahan dasar hewani atau turunannya
- Produk dengan bahan tambahan pangan (seperti pengawet,
perona, emulsifier, dll.)
Kewajiban ini berlaku untuk semua
pelaku usaha, termasuk UMKM, pedagang kaki lima, hingga produsen rumahan yang
menjual produknya ke publik. Tidak ada pengecualian berdasarkan skala usaha
jika produk sudah masuk pasar.
Santapan
Tradisional Masuk Kategori Ini?
Lalu, apakah makanan tradisional seperti
getuk, wingko babat, sate maranggi, atau rendang termasuk dalam kategori produk
yang wajib bersertifikat halal?
Jawabannya: iya, kalau makanan
tersebut diproduksi dan diperjualbelikan ke masyarakat.
Bahkan makanan musiman—misalnya
dodol saat lebaran atau kue basah di bulan Ramadan—tetap termasuk dalam produk
wajib halal selama dijual secara umum. Regulasi halal fokus pada edaran
produk di pasar, bukan jenis makanan berdasarkan budaya atau sejarahnya.
Sebaliknya, produk yang dibuat untuk
konsumsi pribadi atau hanya disajikan dalam komunitas tertutup dan tidak
diperjualbelikan tidak wajib sertifikasi halal. Namun, aspek kehalalan
tetap dianjurkan untuk dijaga.
Mengapa
Makanan Tradisional Perlu Disertifikasi?
Setidaknya ada tiga alasan penting
kenapa makanan tradisional juga perlu ikut sertifikasi halal:
1. Kehalalan bukan hanya soal bahan.
Banyak makanan tradisional menggunakan bahan campuran atau bumbu yang dibeli
dari pasar tanpa label halal. Minyak goreng bekas, kaldu instan, atau penyedap
rasa bisa mengubah status halal suatu makanan. Sertifikasi memastikan seluruh
proses—dari bahan, alat, hingga kebersihan—sesuai standar.
2. Konsumen makin kritis.
Saat ini, masyarakat semakin peduli soal kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Produk bersertifikat halal lebih dipercaya, terutama di pasar modern atau
ketika dijual secara daring dan lintas daerah.
3. Meningkatkan daya saing UMKM.
Sertifikasi halal bukan sekadar formalitas, tapi juga bisa jadi nilai jual
tambahan. Banyak pelaku usaha yang sudah bersertifikat kini lebih mudah
masuk ke ritel besar, marketplace khusus produk halal, hingga program promosi
kuliner skala nasional.
Baca Juga:Kulineran Seru di Malang: 7 Tempat Makan Favorit Warga Lokal & Wisatawan
Apa
Tantangan yang Dihadapi?
Meskipun regulasi ini penting,
pelaku usaha makanan tradisional tidak serta-merta bisa langsung menyesuaikan.
Di lapangan, masih banyak tantangan, seperti:
- Biaya dan proses administrasi. Walau ada program sertifikasi halal gratis (SEHATI),
banyak UMKM belum paham mekanisme pendaftarannya.
- Dokumentasi bahan dan proses. Makanan tradisional umumnya dibuat berdasarkan resep
turun-temurun tanpa pencatatan standar, sehingga menyulitkan audit halal.
- Kendala teknis daerah. Masih terbatasnya pendamping halal (PPH) dan Lembaga
Pemeriksa Halal (LPH) di daerah-daerah tertentu jadi kendala tersendiri.
- Kurangnya sosialisasi. Banyak pelaku usaha belum tahu bahwa produknya
termasuk kategori wajib halal.
Apa
Dukungan yang Sudah Ada?
Untuk membantu para pelaku usaha,
BPJPH bersama Kementerian Agama dan pemda menyediakan berbagai bentuk dukungan,
antara lain:
- Program SEHATI (Sertifikasi Halal Gratis) khusus untuk usaha mikro dan kecil
- Pendaftaran mandiri
melalui platform SIHALAL (sihalal.halal.go.id)
- Pelatihan dan pendampingan dari LPH dan relawan halal di daerah
- Sosialisasi massal
lewat komunitas UMKM dan asosiasi kuliner
Beberapa daerah seperti Jawa Barat,
Sumatera Barat, dan Kalimantan Selatan bahkan menjadikan sertifikasi halal
makanan tradisional sebagai bagian dari branding kuliner lokal.
Jadi,
Butuh Tidak?
Jawaban singkatnya: tergantung.
- Kalau produk dijual secara umum—apalagi dalam kemasan
atau lewat platform daring—wajib memiliki sertifikat halal sesuai
ketentuan yang berlaku.
- Kalau hanya untuk konsumsi pribadi atau kelompok
tertutup, dan tidak dijual ke publik, maka tidak wajib, meskipun
disarankan tetap memperhatikan kehalalan proses dan bahan.
Dengan kata lain, bukan karena
namanya makanan tradisional lalu otomatis bebas sertifikasi. Selama statusnya
adalah produk komersial, maka aturan tetap berlaku sama.
Peninggalan
Tradisi dan Standar Halal Bisa Jalan Bareng
Sertifikasi halal bukanlah ancaman
bagi makanan tradisional. Justru dengan regulasi ini, pelaku usaha bisa tetap
mempertahankan warisan kuliner sambil menjamin mutu, kebersihan, dan kehalalan
produk.
Kalau dikelola dengan baik, makanan
tradisional yang bersertifikat halal bisa menjadi ikon baru yang siap go
international.
Jadi, daripada bertanya butuh
tidak, mungkin sekarang saatnya kita bertanya:
kapan mulai urusnya?