Antara Relevan & Toxic: Style Hidup Kekinian
Dalam beberapa tahun terakhir, istilah seperti toxic, self-love, hingga hustle culture menjadi bagian dari obrolan sehari-hari, terutama di kalangan generasi muda. Media sosial menjadi panggung utama di mana style hidup kekinian dipamerkan, didiskusikan, bahkan ditiru.
Namun di balik estetika yang menarik dan jargon-jargon positif itu, muncul pertanyaan yang cukup mengusik: apakah gaya hidup kekinian ini benar-benar bermanfaat, atau justru menjebak kita dalam tekanan sosial yang tak terlihat?
Evolusi Style Hidup: Dari Konvensional ke Era Digital
Jika dulu gaya hidup banyak dipengaruhi oleh nilai budaya, kondisi ekonomi,
dan kebiasaan lokal, kini media digital mengambil alih peran tersebut. Platform
seperti Instagram, TikTok, dan YouTube bukan hanya memperlihatkan bagaimana
orang lain menjalani hidup, tetapi juga menciptakan standar baru yang sering
kali dianggap normal.
Kegiatan seperti journaling, me time di kafe estetik, atau healing
ke alam bebas, kini bukan sekadar aktivitas biasa, tapi simbol status dan
ekspresi identitas diri. Sayangnya, standar yang dibentuk oleh konten ini
sering kali tak merepresentasikan kenyataan, dan bisa memicu tekanan bagi yang
merasa tertinggal.
Sisi Positif dari Style Hidup Kekinian
Tentu tak adil jika hanya melihat gaya hidup kekinian dari sisi negatif.
Banyak nilai dan praktik baik yang tumbuh dari kesadaran akan pentingnya
kesehatan mental, keuangan yang bijak, hingga hubungan sosial yang lebih sehat.
1. Self-Love dan Kesehatan Mental
Dulu, topik seputar kesehatan mental dianggap tabu. Namun kini, berkat media
sosial dan komunitas daring, semakin banyak orang yang sadar pentingnya menyayangi
diri sendiri. Self-love bukan berarti egois, tapi tentang menerima
diri apa adanya, menetapkan batasan, dan peduli pada kesejahteraan emosional.
Praktik self-care seperti meditasi, detoks media sosial, atau
sekadar istirahat dari rutinitas sudah bukan kemewahan lagi, tapi kebutuhan.
2. Style Hidup Ramah Lingkungan
Krisis iklim membuat banyak anak muda mulai hidup lebih ramah lingkungan.
Membawa kantong belanja sendiri, mengurangi konsumsi plastik sekali pakai,
hingga mendukung brand lokal yang menerapkan prinsip slow fashion
menjadi tren yang menggembirakan.
Ini menunjukkan bahwa gaya hidup kekinian juga bisa mendorong perubahan
kolektif demi masa depan bumi yang lebih baik.
3. Produktivitas Sehat dan Seimbang
Kini banyak konten edukatif yang mengajarkan manajemen waktu, pengaturan
prioritas, dan pentingnya work-life balance. Berbagai metode seperti
Pomodoro atau deep work semakin dikenal dan diterapkan.
Generasi muda tak sekadar ingin sukses, tapi juga ingin menjalani hidup yang
seimbang dan bermakna—tanpa harus mengorbankan kesehatan mental atau hubungan
sosial.
Saat Style Hidup Kekinian Menjadi Toxic
Meski terlihat keren di luar, beberapa tren gaya hidup kekinian bisa berubah
jadi racun jika dijalankan tanpa kesadaran atau secara berlebihan.
1. Hustle Culture yang Melelahkan
Budaya hustle atau kerja terus-menerus sering dianggap sebagai
standar kesuksesan. Slogan seperti no pain, no gain atau sleep is
for the weak terdengar memotivasi, namun sebenarnya bisa mendorong
seseorang menuju burnout.
Padahal, kesibukan tidak selalu berarti produktif. Tanpa istirahat yang
cukup dan batasan kerja yang sehat, gaya hidup ini justru berbahaya dalam
jangka panjang.
2. Toxic Positivity
Berpikir positif memang penting, tapi tidak semua situasi bisa disikapi dengan
senyum dan kata-kata motivasi. Saat emosi negatif terus ditekan demi tampak
kuat atau “baik-baik saja”, itu bisa menghasilkan efek sebaliknya.
Menerima rasa marah, sedih, atau kecewa adalah bagian dari kejujuran
terhadap diri sendiri. Bukan lemah, tapi justru sehat secara emosional.
3. Flexing dan FOMO
Konten pamer gaya hidup mewah kadang bisa menginspirasi, tapi juga dapat
menimbulkan rasa minder atau FOMO (Fear of Missing Out).
Banyak orang jadi merasa tertinggal karena melihat orang lain tampak “lebih
bahagia”, “lebih kaya”, atau “lebih sukses”.
Akibatnya, tak sedikit yang memaksakan diri untuk terlihat sama, bahkan dengan berutang atau berpura-pura. Ini bukan lagi gaya hidup, melainkan tekanan sosial yang menyamar sebagai tren.
Baca Juga:Rutinitas Pagi ala Influencer: Worth It ataupun Gimmick?
Kenapa Kita Mudah Terjebak?
Ada beberapa faktor psikologis dan sosial yang membuat kita cepat menyerap
gaya hidup dari luar:
·
Validasi Sosial
Di era digital, likes, komentar, dan jumlah followers menjadi
bentuk pengakuan baru. Kita ingin diterima, bahkan di dunia maya.
·
Krisis Identitas
Masa muda adalah fase pencarian jati diri. Meniru gaya hidup orang lain terasa
lebih mudah ketimbang membangun identitas sendiri.
·
Algoritma & Bubble
Konten
Apa yang sering kita lihat di media sosial akan terus diulang oleh algoritma,
membuat kita mengira bahwa gaya hidup itu adalah “kebenaran universal”.
Membedakan Style Hidup yang Relevan vs. Beracun
Agar tidak salah langkah, kita bisa mulai dengan beberapa pertanyaan
reflektif:
1. Apakah
kebiasaan ini membuat saya merasa lebih baik secara fisik dan mental?
2. Apakah
saya melakukannya karena kebutuhan pribadi, atau karena tekanan sosial?
3. Bisakah
saya mempertahankannya dalam jangka panjang?
4. Apakah
gaya hidup ini membuat saya lebih sadar diri, atau malah kehilangan arah?
Style hidup yang sehat akan membuat kita lebih utuh, bukan lebih tertekan.
Tips Menemukan Style Hidup Versi Diri Sendiri
Gaya hidup terbaik bukan yang viral atau ramai diikuti orang, tapi yang
selaras dengan nilai dan kebutuhan pribadi. Berikut beberapa panduan sederhana:
·
Jujur terhadap diri
sendiri
Tidak semua orang cocok bangun jam 5 pagi dan meditasi. Kalau kamu lebih
produktif di malam hari, itu juga sah-sah saja.
·
Coba dulu, evaluasi
setelahnya
Tak masalah ikut tren sebagai eksperimen, tapi pastikan kamu tetap memegang
kendali atas keputusanmu sendiri.
·
Kurangi konsumsi
konten, perbanyak aksi nyata
Daripada menonton video morning routine selama satu jam, lebih baik
gunakan waktu itu untuk mencoba kebiasaan kecil yang benar-benar kamu butuhkan.
·
Punya sistem sendiri
Buat aturan dan kebiasaan yang fleksibel. Misalnya, journaling cukup tiga kali
seminggu, tak harus setiap hari.
Pilih yang Sehat, Bukan yang Sekadar Viral
Style hidup kekinian bisa sangat inspiratif, menyatukan komunitas, bahkan
menjadi jalan transformasi diri. Tapi dalam proses mengadopsinya, jangan sampai
kita kehilangan esensi. Gaya hidup yang baik adalah yang melepaskan, bukan yang
membebani.
Kita boleh mengikuti tren—asal tahu batasannya. Kita boleh tampil
estetik—asal tidak menjadi palsu. Kita boleh produktif—asal tetap waras. Karena
pada akhirnya, menjadi versi terbaik dari diri sendiri bukan berarti menjadi
seperti orang lain, tapi menjadi utuh dalam pilihan-pilihan yang sadar dan
jujur.