Eksplorasi Nikel di Indonesia: Antara Ambisi Pemerintah dan Suara Masyarakat

Daftar Isi
Eksplorasi Nikel di Indonesia: Antara Ambisi Pemerintah dan Suara Masyarakat
Sumber : Bloomberg Technoz
Pulau-pulau timur Indonesia tak lagi sekadar lanskap tropis nan eksotis. Dalam dua dekade terakhir, tanah mereka jadi rebutan, bukan karena pariwisata, tetapi karena kandungan nikel logam strategis bagi industri kendaraan listrik dunia. 

Di balik narasi besar soal hilirisasi dan ketahanan energi, terselip kegelisahan masyarakat lokal yang mulai bertanya: siapa yang benar-benar diuntungkan?

Jejak Panjang Eksplorasi: Dari Kolonial hingga Era Reformasi

Eksplorasi nikel di Indonesia bermula pada awal abad ke-20. Pemerintah kolonial Belanda melalui Dienst van het Mijnwezen telah mencatat potensi mineral di Papua, Sulawesi, dan Maluku. Pulau Gag, kini bagian dari Raja Ampat, menjadi salah satu titik awal eksplorasi nikel.

Pasca-kemerdekaan, eksplorasi sempat meredup sebelum bangkit kembali di era Orde Baru. Investor asing dari Jepang dan Kanada memainkan peran penting dalam pengembangan tambang di Sulawesi Tengah dan Tenggara. 

Morowali dan Halmahera perlahan berubah menjadi kawasan industri ekstraktif yang tak hanya mengguncang perekonomian lokal, tapi juga lanskap ekologisnya.

Hilirisasi dan Strategi Pemerintah

UU Minerba dan Moratorium Ekspor

Sejak tahun 2014, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan moratorium ekspor bijih mentah. Melalui UU Nomor 3 Tahun 2020, hilirisasi dijadikan tulang punggung strategi ekonomi nasional. Pemerintah berharap pembangunan smelter dapat menciptakan lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, dan memperkuat kedaulatan ekonomi di sektor tambang.

Namun di lapangan, tak semua berjalan mulus. Banyak proyek smelter dinilai tergesa-gesa, tanpa kajian lingkungan yang memadai. Dampak lingkungan tambang di kawasan pesisir seperti Konawe dan Obi menjadi sorotan, terlebih ketika pengolahan limbah tidak memenuhi standar.

“Pemerintah terlalu fokus pada devisa, tapi abai pada risiko jangka panjang,” ujar Iqbal Arifin, Direktur Center for Mineral Governance.

Suara dari Timur: Ketika Masyarakat Tak Lagi Diam

Raja Ampat: Konservasi vs Eksploitasi

Awal 2025, sebuah perusahaan tambang nasional mendapat izin eksplorasi di Raja Ampat kawasan penyangga keanekaragaman hayati laut dunia. Izin ini langsung memicu penolakan dari masyarakat adat dan pegiat lingkungan.

“Kami bukan menolak kemajuan, tapi jangan korbankan ruang hidup kami,” tegas Elias Warinussy, tokoh adat Moi.

Pemerintah provinsi menegaskan bahwa izin hanya sebatas eksplorasi. Namun, masyarakat terdampak tambang menaruh curiga, mengingat lemahnya pelibatan publik dan minimnya transparansi. Kasus ini menjadi cermin tarik-ulur antara konservasi dan eksploitasi yang kini merebak di banyak wilayah kaya sumber daya.

Baca Juga : Tambang Nikel Raja Ampat: Ancaman Baru bagi Masyarakat dan Lingkungan

Eksplorasi Nikel di Indonesia: Antara Ambisi Pemerintah dan Suara Masyarakat
Sumber : Ekonomi Bisnis

Ketimpangan Akses Informasi

Salah satu kritik utama yang mencuat adalah kurangnya edukasi dan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan. Tak sedikit komunitas adat merasa ditinggalkan dalam proses negosiasi investasi. Di sisi lain, perusahaan tambang dinilai lebih fokus pada pendekatan teknokratik ketimbang dialog sosial.

Mencari Jalan Tengah: Keseimbangan atau Ilusi?

Antara Pembangunan dan Keberlanjutan

Pemerintah melalui Kementerian Investasi menegaskan bahwa seluruh proyek tambang wajib melalui uji AMDAL dan mendapatkan persetujuan dari KLHK. Namun menurut pengamat, pelaksanaan di lapangan masih jauh dari harapan.

“Seringkali AMDAL hanya formalitas. Proyek jalan, masyarakat yang menanggung akibatnya,” kata Ambarini Djoemadi, peneliti kebijakan lingkungan.

Di tengah sorotan global, tekanan terhadap Indonesia pun meningkat. Uni Eropa menggugat kebijakan hilirisasi di WTO, sementara investor asing mendesak percepatan izin produksi.

Dengan kondisi ini, muncul pertanyaan besar: Apakah eksplorasi nikel bisa tetap berkelanjutan? Atau justru kita sedang membangun jalan buntu di mana kerusakan ekologis menjadi warisan yang tak terelakkan?

Narasi Pusat, Realitas Daerah

Eksplorasi nikel bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi atau jumlah investasi. Ini adalah kisah tentang arah pembangunan, hak atas tanah, dan masa depan masyarakat lokal. Jika pemerintah ingin benar-benar inklusif, suara dari pulau-pulau kecil itu harus didengar, bukan diredam.

Sebab, dalam riuhnya agenda transisi energi, hanya keadilan sosial dan lingkungan yang bisa menjadi penyeimbang ambisi industri.

Sevenstar Digital