Tambang Nikel Raja Ampat: Ancaman Baru bagi Masyarakat dan Lingkungan
Ketika
Surga Biodiversitas Dihantui Oleh Eksploitasi
Raja Ampat tak sekadar menjadi ikon pariwisata Indonesia, tetapi juga simbol konservasi laut dunia. Lautan biru yang dihuni ribuan spesies karang dan ikan, serta hutan hujan tropis yang menjadi rumah bagi fauna endemik, menjadikannya kawasan strategis secara ekologis.
Namun kini, surga itu menghadapi ancaman nyata: aktivitas tambang
nikel yang mulai menembus wilayah adat dan konservasi.
Aktivitas tambang di wilayah ini
memunculkan pertanyaan mendasar, apakah investasi harus selalu mengorbankan
kelestarian dan hak hidup masyarakat lokal?
Izin
yang Penuh Tanda Tanya
Ketidakjelasan
Regulasi Antar Tingkatan Pemerintah
Sumber polemik bermula dari izin
usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan kepada beberapa perusahaan,
termasuk PT Anugerah Surya Indotama (ASI) dan PT GAG Nikel. Meski disebut sudah
melewati proses hukum yang berlaku, namun tumpang tindih kewenangan antara
pemerintah pusat dan daerah justru memperkeruh situasi.
Di sisi lain, pemerintah kabupaten mengklaim tak pernah menyetujui kegiatan tambang di wilayah konservasi. Sayangnya, dokumen dari Kementerian ESDM menunjukkan bahwa sebagian konsesi tambang memang menabrak kawasan hutan lindung dan wilayah adat.
Penolakan Masyarakat Adat dan Organisasi Lingkungan
Masyarakat adat Moi dan Maya yang
telah hidup secara turun-temurun di wilayah tersebut menunjukkan penolakan
keras. Mereka tak hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga menghadapi ancaman
terhadap identitas budaya yang sangat terikat pada alam.
“Hutan dan laut bukan sekadar sumber
makanan, tapi bagian dari roh kami,” ujar Christina Kambuaya, warga Kampung
Kaliam.
Organisasi seperti Walhi Papua,
Greenpeace Indonesia, dan EcoNusa menilai bahwa aktivitas tambang ini berpotensi
menyebabkan kerusakan ekosistem laut, deforestasi, serta hilangnya praktik
tradisional seperti sasi mekanisme lokal dalam mengatur dan melindungi
sumber daya alam.
Baca Juga : Kebijakan Ekonomi Pemerintah 2025 Perlindungan Rakyat dan Stabilitas Nasional
![]() |
Sumber: Pukka Indonusa |
Pemerintah
dan Perusahaan: Di Balik Dalih Investasi Hijau
Retorika Tambang Ramah Lingkungan yang Dipertanyakan
Pemerintah pusat melalui Menteri
Investasi menegaskan bahwa semua izin telah mengacu pada regulasi nasional,
termasuk analisis dampak lingkungan (AMDAL). Namun, pelibatan masyarakat
dalam penyusunan dokumen tersebut masih dipertanyakan.
Perusahaan tambang menyatakan siap
menjalankan praktik pertambangan hijau, tetapi laporan dari lapangan
menunjukkan minimnya sosialisasi dan keterlibatan masyarakat lokal. Janji
seringkali tak seiring dengan praktik di lapangan.
Risiko
Jangka Panjang: Lebih dari Sekadar Lubang Tambang
Dampak
Lingkungan, Sosial, dan Budaya
Pembukaan tambang di pulau-pulau
seperti Kawe dan Waigeo berpotensi menyebabkan kerusakan hutan primer,
gangguan habitat satwa endemik, serta pencemaran laut akibat limbah tambang.
Ini tidak hanya berdampak pada ekosistem, tetapi juga pada ketahanan pangan
masyarakat pesisir.
Selain itu, konservasi laut Raja
Ampat terancam kehilangan makna jika praktik tambang terus berlangsung. Konflik
horizontal dan vertikal antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah pun
berisiko meletup jika tak ada kebijakan tegas dan transparan.
Menanti
Kejelasan di Tengah Kebisingan
Hingga kini, belum ada langkah
konkret dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali seluruh IUP yang
telah dikeluarkan. Masyarakat lokal dan komunitas sipil hanya bisa berharap
agar keputusan yang diambil tidak hanya berpihak pada angka investasi, tetapi
juga pada masa depan ekologis dan sosial Raja Ampat.
Sebagai simbol konservasi global, Raja Ampat tidak seharusnya menjadi medan uji coba tambang yang berpotensi menghancurkan segalanya. Masyarakat berhak atas tanah dan lautnya, dan pemerintah berkewajiban melindunginya.