Tempoyak: Kuliner Fermentasi Unik dari Borneo
Untuk sebagian orang, durian saja sudah dianggap ekstrem—aromanya tajam, rasanya kompleks dan nyaris tak bisa dibandingkan dengan buah lain. Tapi tunggu dulu. Di balik durian, tersembunyi sebuah sajian khas yang bahkan lebih menggoda sekaligus eksentrik: tempoyak. Ini bukan sekadar tentang rasa, melainkan kisah budaya dan sains fermentasi yang lahir dari jantung hutan Borneo.
Jejak
Sejarah Tempoyak di Nusantara
Tempoyak bukan temuan baru. Ia telah
menjadi bagian dari tradisi kuliner masyarakat Melayu selama ratusan tahun. Di
Kalimantan, Sumatra, hingga Semenanjung Malaysia, tempoyak muncul sebagai cara
cerdas untuk mengawetkan durian ketika musim panen tiba.
Dalam Hikayat Abdullah, disebutkan bahwa tempoyak telah dikenal sejak abad ke-19 di wilayah Terengganu dan sekitarnya. Sajian ini kemudian menyebar melalui jalur perdagangan dan interaksi budaya ke berbagai penjuru Nusantara.
Di Indonesia, tempoyak diakui
sebagai Warisan Budaya Takbenda dari beberapa daerah, termasuk Jambi,
Palembang, dan Bengkulu. Kalimantan—khususnya di komunitas Dayak dan Melayu
pesisir—memiliki varian khasnya sendiri.
Dari
Durian ke Tempoyak: Proses Fermentasi Natural
Proses pembuatan tempoyak sebenarnya
cukup sederhana. Daging durian matang dipisahkan dari bijinya, kemudian
dicampur dengan sedikit garam. Campuran ini disimpan dalam wadah tertutup dan
dibiarkan berfermentasi pada suhu ruang selama 3 hingga 7 hari. Hasilnya adalah
pasta kental berwarna kuning pucat dengan aroma tajam dan rasa asam yang khas.
Fermentasi terjadi secara alami.
Bakteri asam laktat—seperti Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc
mesenteroides—secara natural hadir pada daging durian dan akan mulai
memecah gula menjadi asam laktat. Proses ini menciptakan rasa asam khas
sekaligus memperpanjang umur simpan. Dalam kondisi higienis dan tertutup rapat,
tempoyak bisa bertahan hingga tiga bulan atau lebih.
Profil
Rasa: Asam Tajam dan Aroma yang Menggoda
Bagi yang belum pernah mencicipinya,
tempoyak bisa menjadi "shock culture" untuk lidah. Bayangkan durian
matang dengan aromanya yang kuat, kemudian difermentasi hingga berubah menjadi
pasta asam dengan bau yang menusuk dan tekstur lebih lembut.
Namun justru di situlah letak
keunikannya. Kombinasi antara rasa manis durian, asam dari fermentasi, dan
sentuhan garam menciptakan profil rasa yang kompleks dan menggugah selera.
Banyak yang menyebut tempoyak sebagai "keju-nya Indonesia" karena
proses dan aroma uniknya yang sebanding dengan keju fermentasi khas Eropa.
Baca Juga:Taste Trip: Korean BBQ, Pizza Italia dan Kebab Timur Tengah
Tempoyak jarang dikonsumsi langsung.
Umumnya ia dijadikan bumbu atau bahan utama dalam berbagai masakan khas daerah.
Setiap wilayah memiliki kreasi tersendiri yang tak kalah menggoda:
1.
Gulai Tempoyak Ikan Patin
Hidangan ikonik dari Palembang dan
Jambi ini memadukan lembutnya daging ikan patin dengan tempoyak, santan, serai,
dan cabai. Kuahnya kuning, aromanya menggoda, dan rasanya kaya akan perpaduan
asam, gurih, dan pedas.
2.
Brengkes atau Pais Tempoyak
Di Bengkulu dan sebagian Sumatra
Selatan, tempoyak dicampur dengan ikan air tawar, dibungkus daun pisang, lalu
dikukus atau dibakar. Aroma asap dan fermentasi yang khas membuat sajian ini cocok
disantap dengan nasi hangat.
3.
Sambal Tempoyak
Di Kalimantan Barat, tempoyak
menjadi bahan utama sambal favorit. Ditumis dengan cabai, bawang merah, dan
terasi, sambal ini tajam, pedas, dan sangat menggugah selera. Pas disantap
bersama ikan goreng atau lalapan.
4.
Seruit Lampung
Di Lampung, tempoyak menjadi bagian dari "seruit"—hidangan khas berupa ikan bakar yang dicocol dengan sambal tempoyak dan rempah lainnya. Biasanya disajikan dalam acara keluarga atau tradisional.
Tak hanya soal rasa, tempoyak juga
menyimpan banyak manfaat kesehatan. Karena merupakan hasil fermentasi, tempoyak
kaya akan bakteri baik yang bermanfaat untuk sistem pencernaan. Proses
fermentasi juga meningkatkan ketersediaan vitamin dan mineral.
Berikut kandungan gizi tempoyak per
100 gram:
- Energi: ±142 kkal
- Protein: ±2,7 gram
- Lemak: ±4,6 gram
- Karbohidrat: ±22,7 gram
- Vitamin C, B1, kalsium, fosfor, dan zat besi
Kandungan asam laktat dan
antioksidannya dipercaya dapat meningkatkan imunitas tubuh, memperbaiki flora
usus, dan membantu detoksifikasi. Namun karena mengandung garam, konsumsi
tempoyak sebaiknya dibatasi, terutama bagi penderita hipertensi atau gangguan
ginjal.
Energi
Budaya: Tempoyak sebagai Identitas Sosial
Di banyak daerah, tempoyak bukan
hanya makanan. Ia menjadi bagian dari identitas budaya. Di masyarakat Dayak dan
Melayu pesisir, tempoyak hadir dalam acara pernikahan, panen raya, hingga
upacara adat.
Makanan ini juga menjadi simbol
gotong royong—karena biasanya dibuat secara bersama-sama saat musim durian
tiba. Tempoyak mengajarkan nilai ekonomi lokal: dari buah yang cepat busuk,
lahirlah produk awetan bernilai tambah.
Potensi
Ekonomi: Dari Tradisi ke Pasar Modern
Kini tempoyak mulai dilirik sebagai
produk unggulan lokal. UMKM di Jambi, Kalimantan, dan Lampung telah memproduksi
tempoyak dalam kemasan botol atau vakum plastik. Harganya berkisar
Rp30.000–Rp50.000 per kg.
Beberapa perguruan tinggi—seperti
IPB dan UGM—juga sedang mengembangkan teknik fermentasi yang lebih higienis dan
stabil. Tempoyak bahkan diuji sebagai sumber probiotik untuk pangan fungsional.
Artinya, tempoyak punya potensi masuk pasar kuliner modern, bahkan global.
Dengan strategi pemasaran yang
tepat—meliputi storytelling budaya, desain kemasan menarik, dan sertifikasi
halal/BPOM—tempoyak bisa sejajar dengan kimchi dari Korea atau miso dari
Jepang.
Tantangan:
Higienitas dan Rasa yang Ekstrem
Meski punya potensi besar, tempoyak
tetap menghadapi tantangan. Pertama, soal higienitas—banyak produk tempoyak
masih dibuat secara tradisional tanpa standar kebersihan. Kedua, soal rasa dan
aroma yang ekstrem, membuatnya kurang akrab di lidah banyak orang, terutama
yang tak terbiasa dengan durian.
Pendidikan rasa, inovasi produk
(seperti tempoyak low-odor atau dalam bentuk selai), dan branding yang lebih
modern perlu dikembangkan. Festival kuliner daerah, kolaborasi dengan chef,
atau konten media sosial bisa menjadi langkah awal untuk mengenalkan tempoyak
ke pasar lebih luas.
Tempoyak,
Warisan Fermentasi Nusantara yang Perlu Diangkat
Di balik baunya yang tajam dan
rasanya yang khas, tempoyak menyimpan beragam cerita—tentang kearifan lokal,
ketahanan pangan, hingga inovasi tradisional. Ia bukan sekadar lauk pinggiran,
melainkan ikon kuliner fermentasi Nusantara.
Sudah saatnya kita melihat tempoyak
sebagai aset budaya dan gastronomi. Dengan dukungan masyarakat, pemerintah, dan
pelaku usaha, tempoyak bisa naik kelas—dari dapur kampung menjadi bintang
kuliner yang membanggakan Indonesia.